Desa Tejakula, yang terletak di ujung timur kabupaten Buleleng Bali, dikenal luas karena memiliki berbagai tradisi yang sangat unik dan khas. Keunikan ini membuatnya menjadi daya tarik bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang tertarik dengan budaya dan spiritualitas Bali yang masih sangat terjaga. Salah satu aspek paling menarik dari tradisi desa ini adalah cara mereka melaksanakan upacara adat seperti Piodalan. Di sebagian besar tempat di Bali, upacara upacara adat yang tergolong besar hanya bisa dipuput oleh seorang Sulinggih, yakni seorang pendeta dengan kedudukan tinggi dalam agama Hindu Bali. Namun, di Tejakula, meskipun Piodalan yang dilaksanakan sangat besar dan sakral—seperti upacara Dangsil, Labuh Gentuh, dan Caru kerbau—seorang Mangku Kahyangan Tiga masih diperbolehkan untuk menghaturkan upacara tersebut. Hal inilah yang membuat desa-desa lain di sekitar Tejakula terkagum-kagum, karena Mangku Kahyangan Tiga di desa ini hampir setara dengan seorang Sulinggih dalam hal derajat spiritual dan peranannya dalam masyarakat. Keunikan lainnya adalah Kahyangan Tiga di desa Tejakula, terdiri dari lima pura besar— diantaranya Pura Dalem Kangin, Pura Dalem Kauh, Pura Puseh, Pura Bale Agung, dan Pura Segara—merupakan pusat kekuatan spiritual yang sangat dihormati di Tejakula.
Keunikan lain yang dimiliki oleh desa ini terkait dengan prosesi Pawintenan. Biasanya, hanya seorang Sulinggih yang diperbolehkan untuk menginisiasi upacara Pawintenan yang mencakup proses pembersihan dan pemurnian seorang pemangku. Namun, di Tejakula, seorang Mangku Kahyangan Tiga juga diperbolehkan untuk memulai dan memimpin upacara ini, dengan ketentuan bahwa acara tersebut disaksikan oleh Jero Bendesa atau Jero Bahu, yang memberikan legitimasi terhadap status seorang pemangku. Jika upacara Mebersih dilaksanakan di luar desa atau tanpa pengawasan mereka, maka status pemangku tersebut belum dianggap sah.
Selain itu, masyarakat Tejakula memiliki aturan ketat mengenai kesucian seorang pemangku. Pemangku di Tejakula tidak diperbolehkan untuk melayat ke rumah duka. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya masyarakat Tejakula menjaga keutuhan dan kesucian seorang pemangku dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga tradisi dan spiritualitas. Keunikan lain yang mencolok adalah tradisi upacara Nyejegambe yaitu upacara sehabis mendirikan bangunan yang diawali dengan peletakan batu pertama. Begitu pula dengan upacara pawiwahan atau perkawinan, yang memiliki aturan tersendiri terkait banten yang harus digunakan, terutama jika salah satu mempelai berasal dari luar Tejakula. Bahkan dalam kasus perceraian, Banten yang digunakan harus sesuai dengan tradisi Tejakula, yang menambah kesan mendalam tentang betapa kuatnya ikatan spiritual dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat desa ini.
Berbicara tentang kasta, masyarakat Tejakula menerapkan konsep Asah Base atau semua orang derajatnya sama, yang mengajarkan untuk melepaskan kasta dan memandang setiap individu sebagai setara, meskipun banyak warga yang memiliki kasta tinggi seperti Gusti Arya, Satria Pradewa, Satria Prabagus, Bhujangga dan lain-lain. Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Tejakula memanggil orang yang lebih tua atau ayah dengan sebutan berbeda sesuai dengan Wangsa-nya. Misalnya "Uti" untuk panggilan Wangsa Gusti Arya. Sedangkan "Guru" untuk Wangsa Arya Pelangan, Arya Jelantik, Dalem Sangsi, Tangkas dan lain sebagainya. Sedangkan "Ajik" untuk Wangsa Satria Pradewa, Satria Prabagus dan Satria Dalem. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada konsep semua orang sama di mata Tuhan, namun nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap satu sama lain lebih ditekankan dalam kehidupan sosial masyarakat Tejakula.
Selain itu, tradisi Ngaben di Tejakula juga memiliki karakteristik yang berbeda. Di masa lalu, ada upacara Metulen yang dilaksanakan setelah 42 hari kematian, serta upacara Metuun yang dilaksanakan setelah satu tahun kematian. Meskipun kedua upacara ini kini jarang dilaksanakan, masyarakat Tejakula tetap memiliki keberagaman dalam cara melaksanakan Ngaben. Di Bali pada umumnya ada dua jenis Ngaben yang dikenal, yaitu Ngaben pembakaran jenazah dan Ngaben pembakaran jenazah memakai simbolis dari daun Ental
Salah satu tradisi unik yang masih dilestarikan adalah upacara Mekarya Bakti, yang setara dengan upacara Ngarorasin di desa-desa lain, namun dipuput oleh Siwa Niskala melalui perantara Mangku Dalem, sementara upacara Ngarorasin dipimpin oleh Sulinggih. Selain itu, ada juga upacara Ngantukang Bulu Geles yang yang biasanya digelar di Pura Suci Tejakula. Upacara ini setara dengan Nyegara Gunung, yang biasanya dilakukan di wilayah lain. Menariknya, masyarakat Tejakula kini diberikan kebebasan untuk memilih antara mengikuti tradisi lokal atau acuan sastra dalam melaksanakan upacara Ngaben.
Dengan segala keunikan dan kearifan lokalnya, desa Tejakula menjadi contoh nyata bagaimana sebuah masyarakat bisa tetap menjaga dan melestarikan tradisi mereka yang sangat kaya, sembari membuka ruang untuk perkembangan dan perubahan zaman. Tradisi dan nilai-nilai yang ada di desa ini bukan hanya soal adat dan agama, tetapi juga mencerminkan ikatan yang kuat antar warga, serta rasa hormat terhadap leluhur dan alam sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar