Rabu, 29 Januari 2025

Pura Dalem Kangin Tejakula

Tidak ada prasasti yang menyebutkan tentang sejarah pura Dalem Kangin yang ada di desa Tejakula. Namun, sejarah pura tersebut terungkap melalui penuturan leluhur-leluhur orang Tejakula yang menjaga cerita ini dari generasi ke generasi. Pura Dalem Kangin pada awalnya disungsung oleh Wangsa Lengkayan, sebuah keluarga atau kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Tejakula pada masa itu. Mereka melakukan pemujaan di pura ini sebagai bagian dari tradisi dan keyakinan yang telah turun-temurun.

Namun, sebuah bencana alam yang tidak diketahui secara pasti jenisnya, memaksa Wangsa Lengkayan mengungsi ke desa lain. Setelah bencana itu, Wangsa Lengkayan tidak kembali lagi ke Tejakula, dan dengan demikian, pura Dalem Kangin kehilangan penyungsungnya. Tanpa pemelihara atau penyungsung yang mengurusnya, pura tersebut sempat terlantar dalam waktu yang cukup lama.

Keadaan ini menyebabkan pura Dalem Kangin jatuh ke tangan masyarakat adat Tejakula, yang melihatnya sebagai bagian dari warisan spiritual mereka. Masyarakat adat mengambil tanggung jawab untuk merawat dan menjaga pura tersebut. Pada bulan Januari 2015, pura ini direnovasi untuk memulihkan kondisi fisiknya yang sudah mulai rusak akibat waktu dan alam. Renovasi ini bukan hanya untuk memperbaiki bangunan, tetapi juga untuk memulihkan hubungan spiritual yang telah lama terlupakan.

Sebagai bagian dari revitalisasi spiritual, dilaksanakanlah upacara Ngambeg, sebuah ritual persembahan berupa kepala kerbau. Ritual ini memiliki makna yang sangat kuat dalam tradisi di desa Tejakula, sebagai bentuk penghormatan kepada para Bhuta. Dalam tradisi Tejakula apabila selesai pembuatan candi di sebuah pura maka digelar Upacara Ngambeg. Dengan harapan agar masyarakat Tejakula tetap dilindungi dan diberkahi oleh para leluhur dan kekuatan alam semesta.

Sejak selesai digelar upacara Ngambeg, pura Dalem Kangin mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Dalam rangka menjaga keberlangsungan tradisi dan hubungan spiritual, dibuatkanlah hari Piodalan setiap sepuluh tahun sekali, yang jatuh pada Purnama Sasih Kawolu. Piodalan ini menjadi momen penting bagi masyarakat Tejakula untuk berkumpul dan merayakan penghormatan kepada para Dewa serta menjaga kesinambungan spiritual yang telah lama ada. Dengan diadakannya Piodalan secara berkala, pura Dalem Kangin kini kembali menjadi pusat kehidupan spiritual masyarakat Tejakula, meskipun sejarahnya telah dilalui dengan banyak perubahan.

Jumat, 24 Januari 2025

"Keagungan Pura Ratu Bagus di Tejakula"

Pura Ratu Bagus yang terletak di Banjar Dinas Kawanan, desa Tejakula merupakan salah satu pura yang memiliki nilai spiritual dan budaya yang tinggi bagi masyarakat sekitar. Pura ini dikenal sebagai tempat pemujaan kepada dewa-dewi yang dipercaya memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi umat. Hari piodalannya yang jatuh setiap Tumpek Krulut, sebuah hari yang diperingati oleh umat Hindu Bali untuk merayakan kesuburan dan keberkahan alam, menjadi momen penting bagi umat yang datang untuk berdoa dan memohon berkah.

Di Pura Ratu Bagus, terdapat beberapa pelinggih yang masing-masing memiliki makna dan fungsi khusus. Beberapa di antaranya adalah Pelinggih Lepitan, Gunung Agung, Kemulan, Surya, Ratu Ayu, Ratu Bagus, Jempana, dan Ratu Penyarikan. Setiap pelinggih ini memiliki peranan penting dalam rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan di pura tersebut. Salah satu pelinggih yang juga mencuri perhatian adalah Pelinggih Ratu Gede Tualen, yang terletak di ujung atas sebelah barat daya pura ini, sebagai simbol pemujaan kepada dewa yang menjaga keseimbangan alam semesta.

Pura Ratu Bagus tidak hanya menjadi tempat persembahyangan, tetapi juga merupakan simbol kearifan lokal Bali dalam menjaga hubungan harmonis antara umat manusia dan alam semesta. Keberadaan pura ini menjadi bukti kuat akan tradisi dan kebudayaan Bali yang tetap lestari hingga kini.

Rabu, 15 Januari 2025

Pura Kayu Mas: Tempat persembahyangan dan Spiritual di Tejakula

Pura Kayu Mas merupakan salah satu pura yang terletak di desa Pakraman Tejakula, tepatnya di Banjar Dinas Tegal Suci, Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Pura ini termasuk dalam kelompok pura Dangka yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi bagi masyarakat setempat. Keberadaannya yang strategis, terletak di dekat bukit, memberikan kesan tersendiri dengan pemandangan alam yang mempesona. Seiring dengan berjalannya waktu, pura ini terus dipelihara dan dijaga oleh masyarakat sekitar. Pada tahun 2022, tercatat ada sekitar 200 kepala keluarga yang menjadi penyungsung atau umat yang merawat dan menjaga kelangsungan aktivitas di pura ini.

Piodalan, yang merupakan upacara keagamaan rutin, diadakan setiap tahunnya di Pura Kayu Mas. Piodalan ini jatuh pada hari Anggara Kliwon Wuku Dukut atau Anggarkasih Dukut, sebuah waktu yang dipilih berdasarkan perhitungan kalender Bali. Upacara tersebut menjadi momen penting bagi masyarakat setempat untuk melakukan penghormatan kepada Tuhan yang berstana di pura tersebut . Selama Piodalan, berbagai upacara dan persembahan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan atas segala karunia yang diberikan oleh Yang Maha Esa.

Pura Kayu Mas memiliki beberapa Pelinggih utama yang menjadi pusat penggormatan dan simbol keagamaan bagi umat Hindu Bali. Salah satu Pelinggih utama di pura tersebut adalah Pelinggih Ratu Ayu Manik Mas, yang diyakini sebagai tempat pemujaan bagi Dewi atau Ratu yang memberikan berkah dan kemakmuran bagi masyarakat. Selain itu, ada pula Pelinggih Ratu Ayu Pengadangan, yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memohon perlindungan dan keselamatan. Jero Dukuh, pelinggih lainnya, dipercaya sebagai tempat untuk memohon kedamaian dan kesejahteraan bagi desa dan warganya. Pelinggih Ratu Penyarikan, yang juga ada di pura ini, memiliki makna khusus bagi masyarakat sebagai tempat untuk memohon restu dan perlindungan dari segala mara bahaya.

Keberadaan Pura Kayu Mas sebagai salah satu tempat persembahyangan di Bali sangat berarti bagi kehidupan spiritual masyarakat setempat. Pura ini bukan hanya menjadi pusat persembahyangan, tetapi juga sebagai pusat penghubung antara manusia dengan Tuhan. Melalui upacara dan ritual yang dilakukan di pura ini, masyarakat Tejakula menjaga dan merawat hubungan mereka dengan kekuatan spiritual yang lebih besar, sekaligus menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pura Kayu Mas juga mencerminkan betapa eratnya hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan dalam kepercayaan Hindu Bali yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi.

Keunikan Tradisi Desa Tejakula.

Desa Tejakula, yang terletak di ujung timur kabupaten Buleleng Bali, dikenal luas karena memiliki berbagai tradisi yang sangat unik dan khas. Keunikan ini membuatnya menjadi daya tarik bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang tertarik dengan budaya dan spiritualitas Bali yang masih sangat terjaga. Salah satu aspek paling menarik dari tradisi desa ini adalah cara mereka melaksanakan upacara adat seperti Piodalan. Di sebagian besar tempat di Bali, upacara upacara adat yang tergolong besar hanya bisa dipuput oleh seorang Sulinggih, yakni seorang pendeta dengan kedudukan tinggi dalam agama Hindu Bali. Namun, di Tejakula, meskipun Piodalan yang dilaksanakan sangat besar dan sakral—seperti upacara Dangsil, Labuh Gentuh, dan Caru kerbau—seorang Mangku Kahyangan Tiga masih diperbolehkan untuk menghaturkan upacara tersebut. Hal inilah yang membuat desa-desa lain di sekitar Tejakula terkagum-kagum, karena Mangku Kahyangan Tiga di desa ini hampir setara dengan seorang Sulinggih dalam hal derajat spiritual dan peranannya dalam masyarakat. Keunikan lainnya adalah Kahyangan Tiga di desa Tejakula, terdiri dari lima pura besar— diantaranya Pura Dalem Kangin, Pura Dalem Kauh, Pura Puseh, Pura Bale Agung, dan Pura Segara—merupakan pusat kekuatan spiritual yang sangat dihormati di Tejakula.

Keunikan lain yang dimiliki oleh desa ini terkait dengan prosesi Pawintenan. Biasanya, hanya seorang Sulinggih yang diperbolehkan untuk menginisiasi upacara Pawintenan yang mencakup proses pembersihan dan pemurnian seorang pemangku. Namun, di Tejakula, seorang Mangku Kahyangan Tiga juga diperbolehkan untuk memulai dan memimpin upacara ini, dengan ketentuan bahwa acara tersebut disaksikan oleh Jero Bendesa atau Jero Bahu, yang memberikan legitimasi terhadap status seorang pemangku. Jika upacara Mebersih dilaksanakan di luar desa atau tanpa pengawasan mereka, maka status pemangku tersebut belum dianggap sah.

Selain itu, masyarakat Tejakula memiliki aturan ketat mengenai kesucian seorang pemangku. Pemangku di Tejakula tidak diperbolehkan untuk melayat ke rumah duka. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya masyarakat Tejakula menjaga keutuhan dan kesucian seorang pemangku dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga tradisi dan spiritualitas. Keunikan lain yang mencolok adalah tradisi upacara Nyejegambe yaitu upacara sehabis mendirikan bangunan yang diawali dengan peletakan batu pertama. Begitu pula dengan upacara pawiwahan atau perkawinan, yang memiliki aturan tersendiri terkait banten yang harus digunakan, terutama jika salah satu mempelai berasal dari luar Tejakula. Bahkan dalam kasus perceraian, Banten yang digunakan harus sesuai dengan tradisi Tejakula, yang menambah kesan mendalam tentang betapa kuatnya ikatan spiritual dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat desa ini.

Berbicara tentang kasta, masyarakat Tejakula menerapkan konsep Asah Base atau semua orang derajatnya sama, yang mengajarkan untuk melepaskan kasta dan memandang setiap individu sebagai setara, meskipun banyak warga yang memiliki kasta tinggi seperti Gusti Arya, Satria Pradewa, Satria Prabagus, Bhujangga dan lain-lain. Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Tejakula memanggil orang yang lebih tua atau ayah dengan sebutan berbeda sesuai dengan Wangsa-nya. Misalnya "Uti" untuk panggilan Wangsa Gusti Arya. Sedangkan "Guru" untuk Wangsa Arya Pelangan,  Arya Jelantik, Dalem Sangsi, Tangkas dan lain sebagainya. Sedangkan  "Ajik" untuk Wangsa Satria Pradewa, Satria Prabagus dan Satria Dalem. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada konsep semua orang sama di mata Tuhan, namun nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap satu sama lain lebih ditekankan dalam kehidupan sosial masyarakat Tejakula.

Selain itu, tradisi Ngaben di Tejakula juga memiliki karakteristik yang berbeda. Di masa lalu, ada upacara Metulen yang dilaksanakan setelah 42 hari kematian, serta upacara Metuun yang dilaksanakan setelah satu tahun kematian. Meskipun kedua upacara ini kini jarang dilaksanakan, masyarakat Tejakula tetap memiliki keberagaman dalam cara melaksanakan Ngaben. Di Bali pada umumnya ada dua jenis Ngaben yang dikenal, yaitu Ngaben pembakaran jenazah dan Ngaben pembakaran jenazah memakai simbolis dari daun Ental 

Salah satu tradisi unik yang masih dilestarikan adalah upacara Mekarya Bakti, yang setara dengan upacara Ngarorasin di desa-desa lain, namun dipuput oleh Siwa Niskala melalui perantara Mangku Dalem, sementara upacara Ngarorasin dipimpin oleh Sulinggih. Selain itu, ada juga upacara Ngantukang Bulu Geles yang yang biasanya digelar di Pura Suci Tejakula. Upacara ini setara dengan Nyegara Gunung, yang biasanya dilakukan di wilayah lain. Menariknya, masyarakat Tejakula kini diberikan kebebasan untuk memilih antara mengikuti tradisi lokal atau acuan sastra dalam melaksanakan upacara Ngaben.

Dengan segala keunikan dan kearifan lokalnya, desa Tejakula menjadi contoh nyata bagaimana sebuah masyarakat bisa tetap menjaga dan melestarikan tradisi mereka yang sangat kaya, sembari membuka ruang untuk perkembangan dan perubahan zaman. Tradisi dan nilai-nilai yang ada di desa ini bukan hanya soal adat dan agama, tetapi juga mencerminkan ikatan yang kuat antar warga, serta rasa hormat terhadap leluhur dan alam sekitar.



Rabu, 08 Januari 2025

Yadnya: Makna dan Peranannya dalam Kehidupan Spiritual

Yadnya adalah istilah dalam tradisi Hindu yang merujuk pada segala bentuk persembahan atau pengorbanan yang dilakukan oleh umat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, serta untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Secara harfiah, kata "yadnya" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "pengorbanan" atau "persembahan dengan tulus." Praktik yadnya dianggap sebagai sarana untuk memurnikan diri dan mencapai kedamaian batin.

Selain itu, yadnya juga mencakup pengorbanan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, menjaga hubungan harmonis dengan sesama, dan merawat alam semesta. Inti dari yadnya adalah memberikan yang terbaik dari diri kita, baik dalam bentuk materi maupun non-materi, untuk kebaikan bersama.

Melalui yadnya, umat Hindu diajarkan tentang pentingnya ketulusan, kebersihan hati, dan rasa syukur kepada Tuhan, serta menjaga keseimbangan dengan alam semesta dan sesama makhluk hidup. Dengan demikian, yadnya bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga cerminan dari ajaran hidup yang penuh kasih, perdamaian, dan keharmonisan.

Selasa, 07 Januari 2025

Buda Cemeng Kelawu Pemujaan Dewi Laksmi

Buda Cemeng Kelawu, juga dikenal sebagai Buda Wage Kelawu, merupakan hari suci bagi umat Hindu di Bali untuk memuja Dewi Laksmi, dewi kemakmuran dan kebahagiaan. Menurut mitologi Hindu di Bali, Dewi Laksmi atau Bhatari Rambut Sedana dipercaya sebagai simbol kemakmuran

Pemujaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kemakmuran dan kebahagiaan. Mencari berkah dan perlindungan dari Dewi Laksmi. Dan menghormati kekuatan feminin dan kebijaksanaan.

Pada hari tersebut, biasanya para pedagang atau sebagian umat Hindu di Bali secara spesial mempersembahkan Canang atau Banten di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan kemakmuran seperti misalnya di Pelinggih Dewi Melanting yang biasanya ada di pasar. Kalau di rumah biasanya di kotak uang atau kotak emas dan sejenisnya.

Buda Cemeng Kelawu mengingatkan kita akan pentingnya menghargai kemakmuran dan kebahagiaan. Mengembangkan kesadaran spiritual. Menghormati kekuatan feminin dan kebijaksanaan.

Dengan memahami makna dan tujuan Hari Buda Cemeng Kelawu, kita dapat meningkatkan kesadaran spiritual dan menghargai keindahan kebudayaan Hindu Bali.

Siwaratri: Malam Penuh Makna dalam Ajaran Hindu

Siwaratri, yang berarti "Malam Siwa," adalah salah satu perayaan penting dalam tradisi Hindu, khususnya bagi umat yang menganut ajaran Shaivisme. Perayaan ini jatuh pada malam ke-14 bulan gelap dalam kalender Hindu, tepatnya pada bulan Phalguna (biasanya januari atau Februari) Siwaratri diyakini sebagai malam yang penuh berkah, di mana umat Hindu melakukan puja dan tapasya (latihan spiritual) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bermanifestasi sebagai Siwa, yang dianggap sebagai dewa pelebur alam semesta.

Pada malam Siwaratri, umat Hindu melakukan meditasi, puja, dan sembahyang sepanjang malam dengan tujuan untuk mendapatkan pencerahan rohani. Keutamaan malam ini adalah memohon berkah, baik dalam kehidupan duniawi maupun spiritual.

Salah satu inti dari Siwaratri adalah pengendalian diri dan pengendalian nafsu. Melalui puasa dan meditasi, umat Hindu berusaha mencapai kedamaian batin dan kedekatan dengan Tuhan. Ini juga merupakan kesempatan untuk merenung, introspeksi, serta memperbarui niat dan komitmen dalam menjalani kehidupan yang lebih baik.

Selain itu, Siwaratri juga mengajarkan pentingnya kesabaran, ketekunan, dan keteguhan hati dalam menjalani praktik spiritual. Dalam pengertian yang lebih luas, perayaan ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual, serta mengutamakan nilai-nilai kedamaian dan kebahagiaan sejati dalam hidup.

Dengan semangat yang tulus, Siwaratri menjadi momen bagi umat Hindu untuk lebih mendalami ajaran-ajaran Siwa, mencapai kesucian, dan mewujudkan kehidupan yang penuh kedamaian serta kebahagiaan rohani.