Minggu, 01 Desember 2024

"Harmoni Spiritual: Piodalan Ngenemang di Tejakula"

Di desa adat Tejakula, Bali, terdapat sebuah ritual yang sangat khas dan rutin digelar setiap tahunnya. Ritual tersebut dinamakan upacara atau piodalan Ngenemang, yang jatuh pada purnama Sasih Ke enam, menurut perhitungan kalender Bali, atau sekitar bulan Desember. Bagi masyarakat setempat, upacara tersebut merupakan salah satu momen spiritual yang sangat penting dan dirayakan dengan penuh khidmat. Piodalan Ngenemang tidak hanya sekadar upacara keagamaan, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya di antara warga desa, yang telah turun-temurun menjaga tradisi ini dengan sangat baik.

Pura yang terlibat dalam pelaksanaan piodalan Ngenemang antara lain adalah Pura Puseh, Bale Agung, Pura Dalem, Pura Dangin Carik, dan Pura Segara. Setiap pura ini memiliki peranannya masing-masing dalam rangkaian upacara yang dilaksanakan. Pura Puseh misalnya, adalah tempat pemujaan Tuhan sebagai sumber kehidupan, sementara Pura Dalem lebih terkait dengan pemujaan Dewi Durga sebagai pelebur alam dan kehidupan. Pura-ini saling bersinergi dalam menyelenggarakan upacara yang sarat dengan makna dan ritual-ritual sakral.

Pada setiap pelaksanaan piodalan Ngenemang, masyarakat desa Tejakula selalu mempersembahkan berbagai macam tari tradisional Bali yang memukau. Salah satu yang paling ditunggu-tunggu adalah tari Wayang Wong, sebuah tarian yang menggambarkan kisah-kisah epik dalam tradisi wayang Bali. Tari ini sangat menarik karena melibatkan unsur dramatis, dengan para penari yang mengenakan kostum penuh warna, menggambarkan karakter-karakter wayang yang hidup dengan gerakan tubuh yang energik. Selain tari Wayang Wong, tari Rejang Dewa juga menjadi bagian penting dari upacara ini. Tari Rejang Dewa adalah tarian yang melibatkan para penari wanita yang mengenakan pakaian khas Bali, dengan gerakan yang lembut namun penuh makna spiritual.

Tari Baris Teruna dan Tari Baris Dewasa juga merupakan bagian yang tak kalah menarik dari piodalan Ngenemang. Tari Baris Teruna, yang dibawakan oleh para pemuda, memiliki gerakan yang lincah dan dinamis, menggambarkan semangat kepahlawanan dan keberanian. Sementara itu, Tari Baris Dewasa lebih menggambarkan keteguhan hati dan kedewasaan, yang dibawakan oleh para penari pria dewasa dengan gerakan yang lebih terkontrol dan penuh wibawa. Kedua tarian ini memiliki makna mendalam tentang semangat perjuangan dan kedewasaan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Di akhir piodalan Ngenemang, acara puncak adalah tari Cendek, sebuah tarian yang menjadi simbol penghormatan dan rasa syukur kepada Tuhan. Tari ini menampilkan gerakan yang sangat lucu seolah-olah seluruh alam semesta bersatu dalam kebahagiaan dan kedamaian. Gerakan yang lucu  dalam tari Cendek mengajak seluruh masyarakat untuk berbahagia.

Piodalan Ngenemang di Tejakula bukan hanya sekadar acara yang dirayakan dengan sukacita, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Setiap tarian dan ritual yang dilakukan bukan hanya untuk memohon berkah kepada Tuhan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam sekitar yang telah memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Upacara ini, yang dilaksanakan dengan penuh hikmat dan ketulusan, mencerminkan betapa kuatnya hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta dalam tradisi Bali. Sehingga, setiap kali piodalan ini digelar, tidak hanya menyatukan masyarakat Tejakula, tetapi juga mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dalam harmoni yang abadi.

Sasih Kanem dalam tradisi Bali memang merupakan waktu yang dianggap penuh tantangan dan penuh makna dalam budaya Bali. Secara spiritual, sasih atau bulan ini dianggap sebagai masa di mana Dewi Durga melakukan yoga atau meditasi, serta waktu ketika kekuatan Batara Guru (Siwa) menguasai wilayah barat daya. Masyarakat Bali percaya bahwa pada periode ini banyak energi yang bisa mempengaruhi kesejahteraan manusia, baik fisik maupun spiritual.

Secara alamiah, Sasih Kanem bertepatan dengan musim pancaroba, yakni peralihan antara musim kemarau dan musim hujan. Musim ini ditandai dengan hujan yang lebih deras dibandingkan dengan hujan pada Sasih Kalima sebelumnya. Dampak dari perubahan cuaca yang signifikan ini berpengaruh pada kondisi alam, termasuk munculnya penyakit dan hama yang lebih banyak. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Sasih Kanem dianggap penuh dengan risiko kesehatan dan ketidakpastian.

Dalam konteks ini, masyarakat Bali memberi perhatian khusus terhadap Sasih Kanem, baik dari segi kesehatan maupun usaha menjaga kelangsungan hidup melalui pertanian. Mereka percaya bahwa selama periode ini, kekuatan alam yang berubah-ubah bisa mempengaruhi daya tahan tubuh dan kestabilan kehidupan. Oleh karena itu, banyak orang yang lebih rentan sakit atau tanaman yang mudah terserang hama. Maka dari itu, perhatian lebih terhadap menjaga kesehatan tubuh dan melindungi tanaman sangat penting selama masa ini.


Jumat, 11 Oktober 2024

Keterkaitan Tradisi dan Religiusitas antara Desa Sukawana dan Tejakula

Tanggal: 11 Oktober 2024

Reporter: Made Budilana

Lokasi: Sukawana

Isi Berita:

Desa Sukawana (Kintamani-Bangli) dan Tejakula, yang terletak di Bali utara, memiliki hubungan yang erat dari segi tradisi, religiusitas, dan aspek sosiologis. Kedua desa ini saling melengkapi, menciptakan interaksi yang kaya antara komunitasnya.

Tradisi di Desa Sukawana dikenal dengan upacara adat yang masih dilestarikan, seperti Ngusaba Dangsil dan Ngusaba Dalem. Dan Piodalan di Sukawana yang memiliki hubungan historis dengan Tejakula adalah di Pura Utus setiap purnama Sasih Ketiga. Di pura puncak Penulisan setiap purnama Sasih Kapat sepuluh tahun sekali dan pura Desa Sukawana setiap purnama Sasih Kelima. Kegiatan ini tidak hanya melibatkan masyarakat lokal tetapi juga mengundang warga Tejakula untuk berpartisipasi, memperkuat rasa persaudaraan. 
Setiap sepuluh tahun, warga Sukawana mengundang warga Tejakula untuk ikut berpartisipasi menggelar upacara bertepatan dengan Piodalan di pura puncak Penulisan. Selain itu juga mengundang seniman dan penari dari Tejakula, untuk menampilkan kekayaan budaya antar kedua desa tersebut.

Dari segi religiusitas, baik Sukawana maupun Tejakula memiliki banyak pura yang menjadi pusat kegiatan spiritual. Kedua desa sering mengadakan upacara bersama, seperti Pujawali, yang menegaskan pentingnya kolaborasi dalam menjaga kepercayaan dan tradisi. Para pemangku adat dan tokoh agama dari kedua desa sering bertukar pikiran dan saling mendukung dalam pelaksanaan ritual keagamaan, menciptakan sinergi yang harmonis.

Aspek sosiologis juga menjadi bagian penting dalam hubungan ini. Masyarakat Sukawana dan Tejakula memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dan kegiatan sosial.  Keterhubungan ini menunjukkan bahwa meskipun Sukawana dan Tejakula memiliki identitas masing-masing, mereka tetap bersatu dalam menjaga nilai-nilai budaya, religiusitas, dan keharmonisan sosial. Interaksi yang terjadi tidak hanya memperkaya kedua desa tetapi juga menjadi contoh bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan.

Hubungan antara Desa Sukawana dan Tejakula adalah cerminan kekayaan budaya Bali yang perlu dijaga dan dilestarikan. Melalui tradisi, religiusitas, dan interaksi sosial, kedua desa ini menunjukkan bahwa kerjasama dan saling menghormati adalah kunci dalam memperkuat komunitas.

Kontak penulis :085792168271







Rabu, 10 April 2024

Keunikan Pura Sekar: Sebuah Warisan Sejarah dan Spiritual di Tejakula

Pura Sekar, yang terletak di Desa Pakraman Tejakula, tepatnya di Banjar Dinas Tegal Sumaga, Buleleng, Bali, merupakan sebuah tempat suci yang penuh dengan sejarah dan nilai spiritual yang sangat dalam. Berada di dekat pantai, pura ini memancarkan nuansa yang sangat khas dengan keindahan alam sekitarnya. Dengan luas sekitar 16 are, pura ini disungsung oleh 462 kepala keluarga, menurut data tahun 2015. Selain itu, Pura Sekar juga menjadi tempat pemujaan bagi masyarakat Desa Pakraman Tejakula serta Krama Subak Carik Sri Dharma Tirta, yang menjadikannya pusat spiritualitas yang menyatukan masyarakat dari berbagai kalangan.

Pura ini memiliki keunikan yang sangat berbeda dari pura-pura lainnya, terutama yang terlihat dalam prasasti yang terbuat dari daun lontar. Prasasti ini menguraikan berbagai petunjuk mengenai waktu pelaksanaan piodalan, serta sarana upakara yang harus dipersembahkan oleh umat. Piodalan yang tertera dalam prasasti tersebut, misalnya, dilaksanakan pada hari Anggara Kliwon, atau Anggarkasih Prangbakat pada sasih Kapat, Kalima, Kanem, dan Kadasa, yang ditandai dengan berbagai ritual suci yang penuh dengan makna. Dalam setiap upacara, masyarakat juga memberikan berbagai jenis sarana upakara, seperti babi, sapi, kambing, kijang, landak, hingga trenggiling, yang semuanya memiliki simbolisme tertentu dalam ajaran Hindu Bali.

Namun, yang membuat Pura Sekar semakin menarik adalah berbagai upacara rutin yang dilaksanakan di sana, seperti upacara Pasangkepan setiap Anggarkasih, upacara Piodalan Alit pada setiap Anggarkasih Perangbakat, dan upacara Ngusaba Nangluk Merana yang dilaksanakan oleh Subak. Upacara-upacara tersebut bukan hanya menjadi sarana untuk memohon berkah, tetapi juga sebagai wujud penghormatan kepada leluhur dan alam semesta yang telah memberikan kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Masyarakat Tejakula memiliki kepercayaan yang kuat bahwa Pura Sekar merupakan tempat berstana Ida Bhatara China, sebuah keyakinan yang kental dengan pengaruh budaya Tionghoa. Kepercayaan ini dapat dilihat dari berbagai bukti, seperti seperangkat pakaian khas China yang terdiri dari topi, baju, celana, sepatu, kacamata, hingga make-up sederhana yang ditemukan di dalam gudang pura. Bahkan, terdapat pula sepasang kursi goyang dan meja yang digunakan dalam upacara. Setiap kali ada upacara, suasana di Pura Sekar dipenuhi dengan lilin, kue, buah, rokok, permen, dan minyak wangi, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual di pura ini. Fenomena menarik lainnya adalah adanya orang yang kesurupan dan berbicara dalam bahasa China yang sangat fasih, menambah keunikan dan kedalaman spiritual yang ada di Pura Sekar.

Salah satu hal yang tidak kalah menarik di Pura Sekar adalah keberadaan empat Pelinggih utama yang menghiasi pura ini. Pelinggih-pelinggih tersebut adalah Ratu Ayu Jong Galuh, Ratu Bagus Subandar, Ratu Bagus Mas Petingan, dan Ratu Gede Serabad. Keberadaan Pelinggih ini mencerminkan pentingnya para leluhur dalam menjaga keseimbangan alam dan spiritualitas masyarakat Tejakula. Namun, ada satu pertanyaan besar yang muncul di sekitar Pura Sekar, yaitu tentang asal-usul baju, topi, kacamata, dan kursi bermotif China yang ditemukan di dalam pura tersebut. Siapakah pemilik terdahulu dari barang-barang tersebut? Jawabannya adalah Ratu Gede Subandar, salah satu tokoh penting yang pernah tinggal di sekitar pura ini.

Dalam sejarahnya, Pura Sekar juga pernah menjadi tempat digelarnya atraksi tradisional Barongsae, yang merupakan salah satu bentuk sesolahan atau pertunjukan yang mencerminkan kepedulian masyarakat terhadap barang-barang peninggalan masa lalu. Atraksi ini menjadi simbol kebersamaan masyarakat dalam merawat dan menjaga warisan budaya mereka. Pada bulan Mei 2019, Pura Sekar selesai direnovasi, memberikan wajah baru yang semakin memperkuat kedudukannya sebagai tempat yang sakral dan penuh sejarah.

Menurut Tutur penglingsir, Pura Sekar memiliki hubungan yang sangat erat dengan Subak Carik Sri Dharma Tirta dan Desa Adat Tejakula. Keterkaitan ini terlihat jelas dalam berbagai aktivitas yang dilaksanakan, seperti upacara dan pembangunan. Subak dan Desa Adat selalu terlibat dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan Pura Sekar, menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Tejakula. Selain itu, dalam ilikita atau catatan sejarah yang ada, Pura Sekar juga disebutkan sebagai tempat yang diwajibkan bagi Krama Pura Sekar untuk melaksanakan upacara dan menyampaikan informasi kepada Subak saat piodalan dilaksanakan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik yang saling mendukung antara pura, masyarakat, dan subak dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan spiritual di desa tersebut.

Pura Sekar dengan segala keunikan dan kekayaan spiritualnya adalah cermin dari keberagaman budaya dan kepercayaan yang berkembang di Bali, khususnya di Tejakula. Setiap sudut dan ritual yang ada di pura ini mengandung makna yang sangat mendalam, mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam, leluhur, dan sesama. Sebagai bagian dari warisan budaya yang hidup, Pura Sekar terus menjadi saksi bisu perjalanan panjang masyarakat Tejakula dalam menjaga dan merawat nilai-nilai spiritual yang ada.



















Keindahan Spiritual dan Ritual Di Pura Ratu Gede Sambangan di Tejakula

Pura Ratu Gede Sambangan merupakan salah satu pura Dangka yang terletak di desa Pakraman Tejakula, tepatnya di Banjar Dinas Tengah, Tejakula, Buleleng. Pura yang berada di kaki bukit ini bukan hanya menjadi tempat persembahyangan yang penting bagi umat Hindu di sekitarnya, tetapi juga menyimpan nilai sejarah dan kebudayaan yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Pura ini disungsung oleh sekitar 1300 kepala keluarga, sebagian besar dari mereka berasal dari masyarakat Tejakula. Sebagai pusat spiritual yang penting, pura ini memiliki peran besar dalam kehidupan religius masyarakat desa. Salah satu momen yang sangat dinantikan oleh umat adalah Piodalan, yang jatuh pada setiap Anggarkasih Prangbakat, sebuah perayaan penting yang dirayakan dengan penuh khidmat dan makna.

Piodalan di Pura Ratu Gede Sambangan selalu menjadi perayaan yang meriah, dimana selama tiga hari penuh, masyarakat melaksanakan berbagai ritual dan upacara. Salah satu bagian yang paling dinanti adalah pertunjukan Tarian Wayang Wong yang digelar dari puncak Piodalan hingga hari Nglebarang. Tarian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam, sebagai bagian dari penghormatan kepada dewa-dewi yang disembah di pura tersebut. Selain itu, bagi umat yang memiliki ritual Nawur Sangi, mereka dapat melaksanakan persembahyangan setiap Purnama di pagi hari di pura ini, menjaga tradisi spiritual yang diwariskan turun-temurun. Di samping itu, Pura Ratu Gede Sambangan juga menyelenggarakan Piodalan Alit setiap Anggarkasih, yang merupakan upacara keagamaan yang lebih kecil namun tetap sangat penting bagi masyarakat sekitar.

Pura ini diyakini oleh masyarakat Tejakula sebagai tempat berstana Ratu Gede Sambangan, sosok yang dianggap sebagai pelindung dan penjaga umat manusia dari berbagai mara bahaya. Nama “Sambangan” sendiri berasal dari kata “Sambang,” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “menjaga.” Dengan demikian, Ratu Gede Sambangan dipercaya sebagai dewa yang selalu menjaga dan melindungi umatnya dari segala bentuk kesulitan dan ancaman. Kepercayaan ini memperkuat ikatan spiritual masyarakat dengan pura, menjadikannya pusat perlindungan dan doa.

Secara arsitektural, Pura Ratu Gede Sambangan memiliki konsep Tri Mandala yang sangat khas. Konsep ini terdiri dari tiga area utama, yakni Jeroan atau Utama Mandala, Jaba Tengah atau Madya Mandala, dan Jaba Sisi atau Kanista Mandala. Di Utama Mandala, yang merupakan bagian paling sakral dari pura, terdapat pelinggih-pelinggih untuk stana Ratu Gede Sambangan, Ratu Gede Srenggi, dan Ratu Gede Mas Mecrancang Kawat. Ini adalah tempat utama yang digunakan untuk memuja dewa-dewi, dan di sini umat memusatkan perhatian mereka untuk memohon berkah dan perlindungan. Sementara itu, di Jaba Tengah, yang berada di sebelah timur, terdapat patung Ratu Gede Sambangan yang didampingi oleh patung harimau dan patung monyet, yang menjadi simbol kekuatan dan keberanian. Di sisi barat, patung Ratu Gede Penyarikan berdiri dengan gagah, didampingi oleh patung sapi putih, yang melambangkan kesucian dan ketulusan.

Jaba Sisi, yang terletak di sisi lain pura, memiliki peran yang unik dalam kegiatan budaya. Di sini, pada sore hari, diselenggarakan tari Wayang Wong yang memukau, diikuti dengan Tari Rejang Renteng pada malam hari dan Tari Cendek yang penuh makna. Setiap tarian ini tidak hanya bertujuan untuk menghibur, tetapi juga sebagai sarana persembahan dan doa kepada para dewa. Selain itu, di sisi kiri dan kanan Jaba Sisi terdapat Bale khusus untuk Gong Gede dan Gong Cenik, yang digunakan untuk upacara musik tradisional sebagai bagian dari perayaan spiritual.

Pura Ratu Gede Sambangan telah mengalami beberapa kali renovasi untuk menjaga kelestariannya dan meningkatkan fasilitas yang ada. Sejak tahun 1997, pura ini telah mengalami renovasi total, termasuk pembangunan candi, pelinggih, patung, serta pagar pura dengan konsep ukiran pasir hitam yang khas. Renovasi ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi umat yang datang beribadah. Renovasi berikutnya dilakukan pada tahun 2014, di mana areal untuk pertunjukan tari Wayang Wong diperluas, serta dibangun Bale Gong dengan menggunakan teknik dak, sebuah inovasi yang memberikan nuansa tradisional yang lebih kuat pada ruang-ruang di dalam pura.

Salah satu aspek unik dari Pura Ratu Gede Sambangan adalah sistem pembagian benang Tridatu kepada para bhakta atau pemedek yang datang untuk sembahyang. Sistem ini hanya ada di pura ini, dan tidak ditemukan di pura-pura lainnya di Tejakula. Benang Tridatu ini dianggap sebagai simbol dari keberkahan dan perlindungan, dan dibagikan kepada setiap orang yang telah menjalani ritual persembahyangan. Ini merupakan salah satu tanda kebesaran spiritual dan rasa solidaritas yang erat antara umat dengan para dewa yang disembah di pura ini.

Pura Ratu Gede Sambangan bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga pusat kebudayaan yang menyatukan masyarakat Tejakula dalam harmoni dan ketenangan. Keberadaan pura ini menggambarkan betapa eratnya hubungan antara umat manusia dengan alam semesta, dengan leluhur, dan dengan kekuatan spiritual yang diyakini ada di setiap sudutnya. Setiap tarian, setiap doa, dan setiap langkah yang dilakukan di pura ini bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan sebuah wujud dari rasa syukur, penghormatan, dan permohonan perlindungan dari kekuatan yang lebih besar. Dengan segala keindahan dan keunikan yang dimilikinya, Pura Ratu Gede Sambangan tetap menjadi tempat yang penuh makna dan selalu dihormati oleh masyarakat Tejakula dan sekitarnya.




 



.