Di desa adat Tejakula, Bali, terdapat sebuah ritual yang sangat khas dan rutin digelar setiap tahunnya. Ritual tersebut dinamakan upacara atau piodalan Ngenemang, yang jatuh pada purnama Sasih Ke enam, menurut perhitungan kalender Bali, atau sekitar bulan Desember. Bagi masyarakat setempat, upacara tersebut merupakan salah satu momen spiritual yang sangat penting dan dirayakan dengan penuh khidmat. Piodalan Ngenemang tidak hanya sekadar upacara keagamaan, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya di antara warga desa, yang telah turun-temurun menjaga tradisi ini dengan sangat baik.
Pura yang terlibat dalam pelaksanaan piodalan Ngenemang antara lain adalah Pura Puseh, Bale Agung, Pura Dalem, Pura Dangin Carik, dan Pura Segara. Setiap pura ini memiliki peranannya masing-masing dalam rangkaian upacara yang dilaksanakan. Pura Puseh misalnya, adalah tempat pemujaan Tuhan sebagai sumber kehidupan, sementara Pura Dalem lebih terkait dengan pemujaan Dewi Durga sebagai pelebur alam dan kehidupan. Pura-ini saling bersinergi dalam menyelenggarakan upacara yang sarat dengan makna dan ritual-ritual sakral.
Pada setiap pelaksanaan piodalan Ngenemang, masyarakat desa Tejakula selalu mempersembahkan berbagai macam tari tradisional Bali yang memukau. Salah satu yang paling ditunggu-tunggu adalah tari Wayang Wong, sebuah tarian yang menggambarkan kisah-kisah epik dalam tradisi wayang Bali. Tari ini sangat menarik karena melibatkan unsur dramatis, dengan para penari yang mengenakan kostum penuh warna, menggambarkan karakter-karakter wayang yang hidup dengan gerakan tubuh yang energik. Selain tari Wayang Wong, tari Rejang Dewa juga menjadi bagian penting dari upacara ini. Tari Rejang Dewa adalah tarian yang melibatkan para penari wanita yang mengenakan pakaian khas Bali, dengan gerakan yang lembut namun penuh makna spiritual.
Tari Baris Teruna dan Tari Baris Dewasa juga merupakan bagian yang tak kalah menarik dari piodalan Ngenemang. Tari Baris Teruna, yang dibawakan oleh para pemuda, memiliki gerakan yang lincah dan dinamis, menggambarkan semangat kepahlawanan dan keberanian. Sementara itu, Tari Baris Dewasa lebih menggambarkan keteguhan hati dan kedewasaan, yang dibawakan oleh para penari pria dewasa dengan gerakan yang lebih terkontrol dan penuh wibawa. Kedua tarian ini memiliki makna mendalam tentang semangat perjuangan dan kedewasaan dalam kehidupan masyarakat Bali.
Di akhir piodalan Ngenemang, acara puncak adalah tari Cendek, sebuah tarian yang menjadi simbol penghormatan dan rasa syukur kepada Tuhan. Tari ini menampilkan gerakan yang sangat lucu seolah-olah seluruh alam semesta bersatu dalam kebahagiaan dan kedamaian. Gerakan yang lucu dalam tari Cendek mengajak seluruh masyarakat untuk berbahagia.
Piodalan Ngenemang di Tejakula bukan hanya sekadar acara yang dirayakan dengan sukacita, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang mendalam. Setiap tarian dan ritual yang dilakukan bukan hanya untuk memohon berkah kepada Tuhan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam sekitar yang telah memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Upacara ini, yang dilaksanakan dengan penuh hikmat dan ketulusan, mencerminkan betapa kuatnya hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta dalam tradisi Bali. Sehingga, setiap kali piodalan ini digelar, tidak hanya menyatukan masyarakat Tejakula, tetapi juga mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup dalam harmoni yang abadi.
Sasih Kanem dalam tradisi Bali memang merupakan waktu yang dianggap penuh tantangan dan penuh makna dalam budaya Bali. Secara spiritual, sasih atau bulan ini dianggap sebagai masa di mana Dewi Durga melakukan yoga atau meditasi, serta waktu ketika kekuatan Batara Guru (Siwa) menguasai wilayah barat daya. Masyarakat Bali percaya bahwa pada periode ini banyak energi yang bisa mempengaruhi kesejahteraan manusia, baik fisik maupun spiritual.
Secara alamiah, Sasih Kanem bertepatan dengan musim pancaroba, yakni peralihan antara musim kemarau dan musim hujan. Musim ini ditandai dengan hujan yang lebih deras dibandingkan dengan hujan pada Sasih Kalima sebelumnya. Dampak dari perubahan cuaca yang signifikan ini berpengaruh pada kondisi alam, termasuk munculnya penyakit dan hama yang lebih banyak. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Sasih Kanem dianggap penuh dengan risiko kesehatan dan ketidakpastian.
Dalam konteks ini, masyarakat Bali memberi perhatian khusus terhadap Sasih Kanem, baik dari segi kesehatan maupun usaha menjaga kelangsungan hidup melalui pertanian. Mereka percaya bahwa selama periode ini, kekuatan alam yang berubah-ubah bisa mempengaruhi daya tahan tubuh dan kestabilan kehidupan. Oleh karena itu, banyak orang yang lebih rentan sakit atau tanaman yang mudah terserang hama. Maka dari itu, perhatian lebih terhadap menjaga kesehatan tubuh dan melindungi tanaman sangat penting selama masa ini.