Rabu, 17 Juli 2019

Kisah Hubungan Desa Sukawana dan Tejakula.

Saya selalu penasaran dengan hubungan sejarah antara desa Sukawana dan Tejakula. Namun, meskipun sering mendengar cerita-cerita lisan dari berbagai sumber, saya belum menemukan penjelasan yang benar-benar jelas. Hingga suatu hari, sebuah kejadian tak terduga memberikan saya kesempatan untuk menggali lebih dalam tentang hubungan antara kedua desa ini.

Saat itu, saya sedang bepergian dari Tejakula menuju Denpasar untuk mencari pekerjaan. Seperti biasa, saya mengendarai motor, menembus jalanan yang berliku di sepanjang jalur Lateng-Kintamani. Namun, tak lama setelah saya melewati desa Lateng, hujan turun dengan sangat lebat, membuat perjalanan saya semakin sulit. Badan saya pun basah kuyup, tubuh menggigil kedinginan, dan yang lebih sialnya, saya juga digonggong anjing oleh beberapa ekor yang tampaknya merasa terganggu oleh kehadiran saya.

Meski begitu, saya terus melanjutkan perjalanan. Di tengah hujan yang semakin deras, saya merasa tubuh saya semakin lelah dan kedinginan. Saat itu, saya tiba di Dusun Kuta Dalem, Desa Sukawana. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk mencari tempat berteduh agar bisa sejenak menghangatkan tubuh dan menghindari hujan yang semakin lebat.

Di sebuah teras rumah yang terlihat kuno dan sederhana, saya melihat beberapa orang sedang berteduh. Saya memberanikan diri untuk mendekati mereka dan meminta izin kepada tuan rumah untuk berteduh sebentar. Tuan rumah, yang ternyata bernama Wayan Runa, menyambut saya dengan ramah. Istrinya, Ibu Runa, juga terlihat menyambut kedatangan saya dengan senyuman hangat. Di samping kiri saya, ada seorang pria bernama Pak Made Kumpul, dan di sisi kanan saya, ada seorang pria dari Sukawana.

Obrolan kami dimulai dengan percakapan santai. Pak Made Kumpul bertanya asal saya, "Anda dari mana, pak?"

"Saya dari Tejakula, Pak," jawab saya.

Sejak itu, obrolan kami semakin seru. Kami membicarakan berbagai topik, mulai dari pekerjaan di Bali yang kini lebih banyak diambil oleh pendatang, hingga hal-hal yang berkaitan dengan tradisi dan ritual di Bali. Salah satunya, kami membahas tentang Canangsari—sesuatu yang sering dibuat oleh wanita Banyuwangi dan bagaimana keaslian bunga yang digunakan dalam persembahan ritual ini sering kali diragukan. Kami juga berbicara tentang telur Banten yang dijual oleh pedagang Jawa, dan apakah itu telur Sukla atau hasil dari pemungutan Lungsuran upacara Ngaben. Meskipun obrolan kami penuh dengan topik serius, kami selalu menambahkan humor untuk meringankan suasana.

Tak lama setelah itu, Ibu Runa datang dengan membawa secangkir kopi hangat yang diberikan kepada saya dan dua orang di samping saya. Saya terkejut, karena tampaknya di Sukawana, tradisi menjamu tamu dengan kopi hangat adalah hal yang sangat dihargai. Saya mengangguk dengan rasa terima kasih dan langsung meneguk kopi tersebut. Rasanya begitu nikmat, menenangkan tubuh saya yang masih kedinginan.

Setelah beberapa saat berbincang, pembicaraan pun beralih ke topik yang saya tunggu-tunggu—sejarah hubungan antara Sukawana dan Tejakula. Pak Made Kumpul menceritakan bahwa, menurut cerita leluhur, masyarakat Sukawana dan Tejakula memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan bisa dikatakan mereka adalah saudara. Dulu, sebagian masyarakat Sukawana melakukan urbanisasi ke Tejakula, yang berarti mereka pindah dan membentuk komunitas baru di desa itu. Oleh karena itu, setiap sepuluh tahun sekali, masyarakat Tejakula selalu mengadakan persembahyangan di Pura Bale Agung Sukawana. Persembahan yang dibawa biasanya berupa daging kijang.

Pak Made Kumpul juga menjelaskan bahwa Paduluan di Sukawana terbagi menjadi 45 Paduluan, dengan 23 Paduluan untuk masyarakat Sukawana dan 22 Paduluan untuk masyarakat Tejakula. Tak hanya itu, sumber air yang ada di Tejakula sebenarnya berasal dari Sukawana, dan mata air tersebut juga diupacarai oleh masyarakat Tejakula.

Setelah saya mendengarkan cerita yang sangat menarik ini, saya merasa semakin terhubung dengan kedua desa tersebut, dan rasa penasaran saya mulai terjawab. Saya merasa beruntung bisa mendengar langsung cerita-cerita sejarah dari orang-orang yang benar-benar memahami akar budaya dan hubungan antara kedua desa ini.

Akhirnya, setelah hujan reda dan obrolan kami selesai, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Sebelum pergi, saya mengucapkan terima kasih kepada Wayan Runa dan Ibu Runa atas keramahan mereka, serta kepada Pak Made Kumpul yang telah memberikan banyak informasi berharga. Saya pun meninggalkan Dusun Kuta Dalem dengan hati yang lebih hangat, bukan hanya karena kopi yang saya minum, tetapi juga karena cerita yang telah membuka wawasan saya tentang hubungan antara Sukawana dan Tejakula.

Sekian cerita singkat dari saya, semoga dapat menambah sedikit informasi tentang sejarah kedua desa yang penuh makna ini. Sebuah perjalanan yang tidak hanya mengajarkan saya tentang geografi Bali, tetapi juga tentang nilai-nilai persaudaraan yang tak lekang oleh waktu.

Senin, 27 Mei 2019

Pura Pingit: Sejarah dan Keajaiban di Tejakula

Pura Pingit adalah salah satu pura bersejarah yang terletak di Dusun Sukadarma, Desa Tejakula, Bali. Keberadaannya tidak hanya menarik perhatian para pengunjung, tetapi juga menyimpan kisah yang kaya akan nilai spiritual dan budaya. Hari Piodalannya jatuh pada Raina Buda Kliwon Wuku Pahang, yang menjadi momen penting bagi umat Hindu di daerah tersebut.

Nama "Pingit" memiliki arti yang mendalam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu angker atau keramat. Hal ini mencerminkan aura sakral yang melekat pada pura ini, dan menambah daya tariknya sebagai tempat persembahyangan.

Legenda Sejarah Pura Pingit

Belakangan ini, semakin banyak informasi mengenai sejarah Pura Pingit yang mulai terungkap. Menurut cerita yang disampaikan oleh para tetua di Tejakula, puranya didirikan berdasarkan peristiwa luar biasa yang terjadi di masa lalu. Cerita dimulai ketika sekelompok anak kecil sedang bermain di suatu tempat. Mereka memainkan tarian tradisional Sanghyang, seperti Sanghyang Bangkung, Sanghyang Dedari, Sanghyang Jaran, dan Sanghyang Siwa, yang merupakan bagian dari budaya Bali yang kaya.

Saat anak-anak tersebut asyik dalam permainan, tiba-tiba terjadi sesuatu yang ajaib. Salah satu dari mereka mengalami keadaan yang tidak biasa—roh suci merasuki tubuhnya. Dalam keadaan trance, anak tersebut melangkah ke atas bara api yang menyala tanpa merasakan sakit sedikit pun. Kejadian ini menimbulkan keheranan dan kekaguman bagi semua yang menyaksikannya. Bahkan, setelah peristiwa tersebut, tidak ada tanda luka bakar yang ditinggalkan di tubuhnya.

Keajaiban ini menjadi titik awal bagi pendirian Pura Pingit. Masyarakat setempat percaya bahwa tempat tersebut dipenuhi dengan energi spiritual yang kuat, sehingga mereka memutuskan untuk membangun pura sebagai bentuk penghormatan dan syukur atas peristiwa luar biasa tersebut.

Hari Piodalan di Pura Pingit bukan sekadar ritual keagamaan; ini adalah saat bagi masyarakat untuk berkumpul dan merayakan warisan budaya mereka. Ritual-ritual yang dilakukan selama Piodalan mencerminkan nilai-nilai spiritual dan sosial yang mengikat komunitas setempat. Melalui doa, dan persembahan, umat Hindu berusaha menjalin hubungan yang lebih erat dengan Sang Pencipta dan menghormati roh-roh leluhur.

Perayaan ini juga menjadi ajang bagi generasi muda untuk belajar dan memahami tradisi mereka. Anak-anak diajarkan tentang makna tarian Sanghyang dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga warisan budaya dapat terus dilestarikan dari generasi ke generasi.

Pura Pingit bukan hanya sekadar tempat persembahyangan umum, namun merupakan simbol dari keajaiban, kepercayaan, dan kebudayaan yang mendalam. Cerita mengenai roh suci yang merasuki anak kecil dan keajaiban yang mengikuti, menjadikan pura ini sebuah tempat yang keramat. Setiap kunjungan ke Pura Pingit adalah kesempatan untuk merasakan kehadiran spiritual yang kuat dan merenungkan makna kehidupan yang lebih dalam. Dengan demikian, Pura Pingit tetap menjadi salah satu tempat yang penting dalam peta spiritual dan budaya Bali.






Nama Nama Piodalan Khas Tejakula.

Sebelum saya membahas nama-nama Piodalan khas Tejakula, ijinkan saya terlebih dahulu membahas struktur pemerintahan desa adat Tejakula. Di Tejakula ada istilah Desa Negak yang artinya struktur pemerintahan desa adat tejakula yang berjumlah 22 orang diantaranya Jero Bendesa, Jero Penyarikan, Jero Bahu, dan 19 Semeton Desa. Di luar Desa Negak ada juga istilah Kelian Sampingan Kaler yang jumlahnya 6 orang, dan  Kelian Sampingan Kelod yang jumlahnya 6 orang juga. 

Menurut penuturan para tetua di Tejakula, sebelum ada Kahyangan Tiga di desa Tejakula, Tejakula sudah memiliki Dang Kahyangan yang bernama pura Dangin Carik lalu disusul dengan pura Maksan. Makanya pura Dangin Carik adalah satu-satunya pura yang ikut menggelar upacara Dangsil dan Ngenemang. Mengenai nama nama Krama di Tejakula diantaranya Krama Pengastulan, Maksan Kaja, Umbul-Umbul Kaja dan Cendek. Setelah kedatangan Mpu Kuturan ke Bali atau setelah terciptanya konsep Kahyangan Tiga, barulah di Tejakula ada istilah Maksan Kelod, Umbul-Umbul Kelod dan Mamas.
            
Desa Tejakula memiliki Tarian adat yang bernama tari baris. Sementara tari Baris dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya tari Baris Jojor yang penarinya identik dengan pakaian warna kuning. Sedangkan tari Baris Blongsong identik dengan warna putih, tari Baris Bedil identik dengan warna hitam dilengkapi dengan tombak, dan tari Baris Perisi identik dengan warna hitam dilengkapi dengan Tamiang. 

Selain penari Baris, ada juga istilah Cendek yang dibagi menjadi dua jenis yaitu Cendek putih dan Cendek Luput.
             
Nah sekarang barulah saya akan membahas nama-nama Piodalan khas Tejakula. Mengenai Piodalan Khas desa Tejakula  diantaranya ada yang bernama Piodalan Dangsil, Ngenemang, dan Labuh Gentuh.
            
Piodalan Dangsil jatuh setiap purnama Sasih Kalima atau sekitar bulan November. Pura yang menggelar Piodalan Dangsil diantaranya :pura Puseh, Bale Agung, Dalem dan  Dangin Carik. Dalam kamus bahasa Kawi Dangsil merupakan persembahan yang terbuat dari berbagai jajanan tradisional seperti Jaje Pekayu, Jaje Gina, dan lain sebagainya. Kemudian dirangkai sedemikian rupa hingga menyerupai Meru atau gunung. Ritual Dangsil dilatarbelakangi oleh wujud bakti kepada tuhan agar diberikan ketentraman dan kemakmuran umatnya. Setiap Dangsil di desa Tejakula pasti menggelar tari Wayang Wong, tari Baris, tari Rejang dan lain-lain. Lalu ada istilah Meprani yaitu makan bersama sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada Sanghyang Widhi.          
                 
Selain Dangsil, di Tejakula juga ada istilah Piodalan Ngenemang. Ngenemang jatuh setiap purnama Sasih Ke enam menurut perhitungan kalender Bali atau bulan Desember. Pura yang menggelar Piodalan Ngenemang adalah Puseh, Bale Agung, pura Dalem, Dangin Carik dan Segara.     

Kemudian ada istilah Labuh Gentuh yang digelar setiap sepuluh tahun sekali di pura Beji Tejakula. Ada satu hal yang paling unik yang dimiliki oleh desa adat tejakula yaitu setiap selesai pembuatan candi di sebuah pura, maka pura tersebut wajib dibuatkan upacara Ngambeg. Yaitu ritual Caru kepala kerbau. Dan seperti biasa wajib menggelar tari Wayang Wong di pura yang baru saja selesai dibuatkan candi.

Selasa, 19 Maret 2019

Pura Ponjok Batu: Jejak Spiritualitas di Pesisir Bali Utara







Pura Ponjok Batu adalah salah satu pura suci yang terletak di pesisir pantai Pacung, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Pura ini memiliki makna mendalam dalam sejarah spiritual Bali, menjadi tempat persembahyangan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi umat Hindu, wisatawan, serta mereka yang ingin mencari kedamaian dan kesembuhan spiritual. Pura Ponjok Batu merupakan petilasan dari seorang tokoh suci, yaitu Danghyang Dwijendra, atau juga dikenal sebagai Danghyang Nirartha dan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang memiliki peran besar dalam perkembangan ajaran Hindu di Bali pada abad ke-16.

Nama “Ponjok Batu” berasal dari kata “ponjok” yang berarti pojok atau sudut, dan “batu” yang berarti batu karang. Sesuai dengan namanya, pura ini dibangun di atas tanah berbatu yang berada di tepi pantai, memberikan pemandangan yang begitu indah dan megah dengan sentuhan alam. Pendirian pura ini erat kaitannya dengan perjalanan spiritual Danghyang Nirartha yang meninggalkan jejak spiritual di berbagai tempat di Bali.

Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta yang datang ke Bali dari Blambangan, Jawa Timur, pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Gelgel. Selama perjalanannya, beliau singgah di berbagai tempat di Bali, termasuk di pesisir pantai Pacung ini. Dikisahkan bahwa beliau memilih lokasi ini karena dirasa memiliki energi spiritual yang kuat. Beliau kemudian mendirikan petilasan sebagai sarana persembahyangan dan tempat beristirahat.

Pura Ponjok Batu memiliki keunikan arsitektur yang berbeda dengan pura-pura lainnya di Bali. Dengan latar belakang hamparan lautan dan karang-karang kokoh yang mengelilinginya, pura ini tampak menyatu dengan alam sekitarnya, memberikan kesan harmonis antara budaya dan alam. Batu-batu besar yang ada di sekitar pura juga memberikan kesan mistis dan sakral, seolah mengingatkan pada perjuangan dan pengabdian Danghyang Nirartha dalam menyebarkan ajaran Hindu di Bali.

Pura ini dihiasi dengan patung-patung dan ornamen khas Bali, yang melambangkan aspek keagamaan dan filosofis dalam ajaran Hindu. Pura ini terbuka untuk umum, tetapi terdapat aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh setiap pengunjung untuk menjaga kesucian dan keharmonisan tempat ini.

Salah satu keistimewaan Pura Ponjok Batu adalah keberadaan lima mata air yang disebut sebagai Panca Tirta. Lima mata air ini dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa, dan kerap digunakan oleh umat Hindu untuk upacara melukat atau pembersihan diri secara spiritual. Melukat di Pura Ponjok Batu diyakini dapat membersihkan energi negatif, menyembuhkan penyakit, serta memberikan ketenangan jiwa.

Oleh karena itu, ritual melukat di Pura Ponjok Batu bukan sekadar ritual fisik, tetapi juga spiritual yang melibatkan doa untuk memohon perlindungan dan penyembuhan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Selain Panca Tirta, terdapat satu mata air lainnya yang disebut sebagai Tirta Pasupati. Mata air ini berbeda fungsi dari Panca Tirta, karena lebih sering digunakan dalam upacara penyucian pratima atau benda-benda sakral di pura. Tirta Pasupati dianggap memiliki daya spiritual yang tinggi dan dapat memberikan kekuatan dan kesucian pada benda-benda yang digunakan dalam ritual keagamaan.

Pura Ponjok Batu memiliki peran penting sebagai tempat melukat bagi masyarakat Bali. Ritual melukat di pura ini dilakukan dengan tata cara tertentu yang dipandu oleh pemangku atau pendeta. Sebelum melukat, para umat biasanya akan memanjatkan doa di pelinggih utama dan memohon izin kepada Ida Batara yang berstana di pura ini. Setelah itu, umat akan menggunakan air dari Panca Tirta untuk melukat dengan cara memercikkannya ke tubuh atau membasuh muka dan kepala.

Melukat di Pura Ponjok Batu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Bali, tetapi juga banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Mereka yang datang berharap mendapatkan kesembuhan, baik secara fisik maupun spiritual. Banyak yang merasakan kedamaian setelah melakukan ritual melukat di sini, seolah mendapatkan energi baru yang membawa ketenangan dan kebahagiaan.

Pura Ponjok Batu mengandung filosofi mendalam tentang keseimbangan hidup dan keutuhan alam semesta. Kombinasi antara elemen alam (batu, air, dan laut) dengan nilai-nilai spiritual memberikan pesan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dengan alam dan selalu memohon bimbingan dari yang Maha Kuasa.

Danghyang Nirartha, sebagai sosok spiritual yang meninggalkan jejak di pura ini, juga mengajarkan nilai-nilai pengabdian, ketulusan, dan kasih sayang. Pura Ponjok Batu menjadi simbol pengabdian beliau dalam menyebarkan ajaran Hindu dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Jejak beliau ini memberikan inspirasi bagi umat Hindu untuk senantiasa mengabdikan diri pada kebenaran dan menjaga hubungan harmonis dengan alam.

Sebagai tempat suci, Pura Ponjok Batu dijaga dan dirawat dengan baik oleh masyarakat setempat. Ritual-ritual seperti piodalan dilaksanakan secara berkala dan melibatkan banyak umat Hindu. Masyarakat sekitar berperan besar dalam menjaga kesucian pura ini, baik dari sisi spiritual maupun kebersihan fisik lingkungan pura.

Pemerintah dan masyarakat setempat juga terus berupaya untuk melestarikan Pura Ponjok Batu sebagai salah satu warisan budaya dan spiritual Bali. Upaya ini dilakukan melalui perawatan pura, pelestarian mata air suci, serta edukasi bagi para pengunjung agar turut menghormati kesucian tempat ini.

Pura Ponjok Batu adalah lebih dari sekadar bangunan suci di pesisir Bali Utara. Ia adalah simbol dari keagungan spiritual, kekuatan alam, serta warisan budaya yang tak ternilai. Kehadiran Panca Tirta dan Tirta Pasupati memberikan keunikan tersendiri bagi pura ini, sehingga menjadi daya tarik bagi umat Hindu dan masyarakat umum yang ingin mencari ketenangan, kesembuhan, dan kedamaian batin.

Pura Ponjok Batu mengajak setiap pengunjungnya untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan Tuhan dan alam semesta. Sebagai salah satu peninggalan Danghyang Nirartha, pura ini merupakan warisan abadi yang memberikan inspirasi bagi generasi penerus untuk terus menjaga keharmonisan dan kedamaian, tidak hanya di Bali tetapi juga di dunia ini.