Selasa, 28 Desember 2021

Kayowan Dan Pura Beji Tejakula.



 Di bawah pura Beji Tejakula ada pancoran umum atau tempat permandian yang disebut Kayowan. Selain untuk tempat permandian, Kayowan juga sering digunakan untuk Nunas Tirta Pengabenan atau memohon Tirta untuk perlengkapan upacara pembakaran jenazah. 

Sedangkan pura Beji biasanya digunakan untuk melakukan ritual Majangin atau upacara bayi yang sudah berumur tiga bulan. Pura Beji memiliki ritual yang bernama Labuh Gentuh yang digelar setiap sepuluh tahun sekali.

Sabtu, 16 Oktober 2021

Tradisi dan Keagungan Pura Dangin Carik di Tejakula"

Pura Dangin Carik adalah salah satu pura Dangka yang terletak di Desa Pakraman Tejakula, tepatnya di Banjar Dinas Antapura, Tejakula, Buleleng. Pura ini memiliki sejarah dan makna yang sangat dalam bagi masyarakat setempat, terutama dalam hubungan spiritual mereka dengan para dewa yang mereka sembah. Pura Dangin Carik disungsung oleh empat Krama yang ada di Tejakula, yakni Krama Maksan Kaja, Pengastulan, Cendek, dan Umbul-Umbul Kaja. Keempat Krama ini bersama-sama menjaga dan merawat pura ini dengan penuh rasa tanggung jawab. Piodalan, yang merupakan perayaan keagamaan yang rutin dilakukan di pura ini, biasanya digelar setiap Dangsil dan setiap Ngenemang, mencerminkan ikatan erat masyarakat dengan tempat suci ini.

Piodalan di Pura Dangin Carik selalu diramaikan dengan berbagai upacara dan kegiatan budaya, salah satunya adalah tarian Wayang Wong yang digelar selama dua hari, dari puncak Piodalan hingga hari Nglebarang. Tarian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upacara, menunjukkan kedalaman spiritual masyarakat Tejakula dalam menghormati para dewa. Masyarakat Tejakula mempercayai bahwa di pura tersebut berstana beberapa Bhatara dalam kepercayaan mereka, antara lain Ratu Ngurah, Ratu Gede Pengastulan, dan Ratu Ayu Manik Galih, yang masing-masing memiliki peran dalam menjaga keseimbangan spiritual dan alam sekitar. Selain itu, di barat laut Pura Dangin Carik terdapat Pelinggih yang bernama Ratu Gede Penyarikan, yang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat untuk upacara Mintonang, yaitu upacara untuk bayi yang sudah genap berusia tiga bulan.

Menurut mitologi yang berkembang di masyarakat Tejakula, Ratu Ngurah dikenal memiliki banyak serdadu atau Tameng yang setia menjaga dan melindungi. Serdadu atau Tameng ini kini direalisasikan dalam bentuk para penari Cendek, yang juga merupakan Krama di pura Dangin Carik dan pura Maksan. Keunikan Pura Dangin Carik terletak pada benda sakral yang dimilikinya, yang berfungsi sebagai penangkal hujan. Benda sakral ini terdiri dari gelang yang terbuat dari tembaga dan benda yang menyerupai Belakas. Pada saat Piodalan yang jatuh pada musim hujan, benda sakral ini digunakan untuk menangkis hujan, agar prosesi upacara dapat berlangsung dengan lancar dan khusyuk tanpa terganggu cuaca yang tidak menentu.

Pura Dangin Carik sendiri memiliki nama yang cukup unik, di mana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "Dangin Carik" diartikan sebagai sebelah timur persawahan. Nama ini merujuk pada posisi pura yang dulu memang terletak di sebelah timur persawahan, sebuah lokasi yang sangat penting bagi masyarakat agraris. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin pesatnya pembangunan perumahan di sekitar wilayah tersebut, kini sulit untuk membedakan mana yang merupakan persawahan dan mana yang merupakan perumahan. Hal ini mencerminkan perubahan signifikan yang terjadi di kawasan tersebut, meskipun Pura Dangin Carik tetap menjaga eksistensinya sebagai tempat persembahyangan yang sakral dan penting.

Dalam hal tata ruang, Pura Dangin Carik mengusung konsep Dwi Mandala, yang terdiri dari dua bagian halaman pura yaitu Jeroan dan Jaba Tengah. Jeroan adalah area tempat umat melakukan persembahyangan, sementara Jaba Tengah adalah area yang digunakan untuk menggelar tarian Wayang Wong dan berbagai aktivitas budaya lainnya. Pembagian area ini menunjukkan betapa pentingnya peran kesucian dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Tejakula, di mana setiap aspek kehidupan mereka saling berhubungan erat dengan tradisi dan kepercayaan yang ada.

Pada zaman dahulu, terjadi peristiwa banjir besar yang melanda kawasan sekitar Pura Dangin Carik, yang menyebabkan masyarakat Tejakula tidak dapat melaksanakan persembahyangan di pura tersebut. Sebagai solusinya, masyarakat setempat mendirikan pura Penyawangan Ratu Ngurah yang bernama Pura Maksan, yang memiliki tujuan untuk memfasilitasi umat dalam bersembahyang dan berdoa kepada Bhatara Ratu Ngurah. Dengan demikian, Pura Dangin Carik dan Pura Maksan saling melengkapi dalam memuja Bhatara Ratu Ngurah, sehingga umat dapat tetap menjalankan kewajiban agamanya dengan baik meskipun terjadi bencana alam yang menghalangi.

Selain sebagai tempat untuk memuja Bhatara Ratu Ngurah, Pura Dangin Carik juga memiliki Pelinggih yang merupakan stana dari Ratu Ayu Manik Galih, yang dipercaya sebagai salah satu kekuatan spiritual yang menjaga keseimbangan alam dan kehidupan. Ratu Ayu Manik Galih diharapkan dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat Tejakula, serta menjaga keharmonisan antara manusia dan alam.

Sabtu, 07 Agustus 2021

"Pura Pegonjongan: Simbol Sejarah dan Spiritualitas Bali"

Pura Pegonjongan merupakan sebuah tempat suci yang memiliki makna dan kaitan mendalam dengan sejarah dan budaya Bali, terutama bagi masyarakat Batur Kintamani dan kerajaan Balingkang yang pernah berdiri di Bali. Selain itu, pura ini juga memiliki hubungan yang erat dengan keberadaan raja yang bergelar Ida Ratu Sri Aji Jaya Pangus. Sebagai salah satu pura yang sangat dihormati, Pegonjongan menjadi tempat yang kaya dengan simbolisme religius yang berhubungan dengan kekuatan dan pengaruh para dewa dalam kehidupan masyarakat Bali.

Pelinggih utama di Pura Pegonjongan sangat beragam dan masing-masing memiliki peran sakralnya sendiri. Salah satu pelinggih yang penting di pura ini adalah Puri Kanginan, yang dipercaya oleh umat sebagai tempat pemujaan terhadap Ratu Ayu Subandar. Ratu Ayu Subandar diposisikan sebagai aspek feminin dari dewa yang mengatur segala kegiatan perdagangan, pelayaran, dan pelabuhan laut di Bali. Keberadaan Puri Kanginan menegaskan pentingnya keberkahan dan kesuburan dalam aspek ekonomi dan sosial kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam konteks perdagangan dan hubungan maritim.

Di area sekitar Pura Pegonjongan, terdapat pula sebuah pura Beji yang terletak di dekat aliran sungai kecil. Pura ini sangat disakralkan oleh masyarakat setempat, dan sumber air tawar yang ada di dalamnya dianggap memiliki kekuatan spiritual yang besar. Konon, air tawar ini dibuat oleh Kebo Iwa, seorang patih terkenal yang hidup di Bali pada masa lampau. Sumber air ini hanya diambil untuk keperluan upacara dan ritual, sebagai sarana untuk memperoleh berkah dari dewa-dewa yang dihormati di tempat tersebut. Keberadaan pura Beji menandakan betapa pentingnya air dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali, yang dianggap sebagai sumber kehidupan yang tidak hanya penting secara fisik tetapi juga secara spiritual.

Salah satu elemen penting lainnya yang ada di Pura Pegonjongan adalah Batu Kerug. Batu ini diyakini memiliki peran penting dalam fenomena alam, khususnya terkait dengan terjadinya kilat di langit. Batu Kerug ini sangat dihormati dan disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan batu serupa yang ada di pura Lingsar dan di Gunung Rinjani, Lombok. Keberadaan Batu Kerug menjadi simbol dari hubungan antara alam semesta dan kekuatan yang mengendalikan fenomena alam. Batu ini tidak hanya dilihat sebagai benda fisik, tetapi juga sebagai penanda adanya hubungan spiritual antara manusia dan alam, yang saling berinteraksi dalam harmoni yang tak terpisahkan.

Di selatan Pelinggih Puri Kawanan, terdapat sebuah area yang dikenal sebagai konsentrasi temuan benda sakral. Tempat ini merupakan lokasi ditemukannya benda-benda sakral pada masa lalu, yang hingga kini tetap disucikan oleh umat. Keberadaan benda-benda sakral ini menambah dimensi spiritual yang mendalam bagi Pura Pegonjongan, yang tidak hanya sebagai tempat pemujaan tetapi juga sebagai saksi sejarah bagi masyarakat Bali. Keberadaan benda-benda ini menjadi simbol penghormatan terhadap warisan budaya yang sangat berharga bagi kehidupan spiritual masyarakat Bali, yang menjaga kelestarian dan kesucian benda-benda tersebut sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Puri Kawanan sendiri merupakan tempat yang sangat penting dalam struktur keagamaan di Pura Pegonjongan. Puri Kawanan diyakini sebagai tempat resmi bagi sang dewa dalam menerima tamu yang berkunjung. Selain sebagai tempat pemujaan bagi Ratu Ngurah Subandar, Puri Kawanan juga dipersembahkan untuk memuja beberapa tokoh dewa lainnya, seperti Ida Bhatara Lingsir, Ratu Gede, dan Ratu Ngurah Lanang. Ratu Ngurah Lanang, yang diyakini sebagai putra dari Bhatara utama yang berstana di Pura Dalem Ped, Nusa Penida, juga memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali. Puri Kawanan, dengan keberadaannya yang agung, menjadi simbol dari sambutan terhadap tamu-tamu yang datang dengan penuh rasa hormat dan doa.

Selain itu, Pura Pegonjongan memiliki makna yang sangat penting bagi komunitas warga Baliaga yang bermukim di wilayah Batur Kintamani, Blandingan, serta desa Petak di wilayah Gianyar. Pura ini menjadi tempat utama bagi mereka untuk memohon berkah dan petunjuk dari para dewa, dan juga menjadi pusat kegiatan religius bagi masyarakat Baliaga. Sebagai pura Segara, Pegonjongan juga memiliki makna yang kuat dalam menjaga hubungan masyarakat dengan kekuatan alam, khususnya laut dan segala makhluk yang ada di dalamnya.

Pura Pegonjongan bukan hanya sekadar tempat suci, tetapi juga menjadi pusat kehidupan spiritual yang sangat integral dengan sejarah dan kebudayaan Bali. Keberadaan berbagai pelinggih dan benda sakral di dalamnya menunjukkan betapa pentingnya tempat ini bagi masyarakat, yang menjaga warisan budaya dan agama mereka dengan penuh kesucian. Melalui ritual dan upacara yang dilaksanakan di pura ini, masyarakat Bali tidak hanya menghubungkan diri mereka dengan dewa-dewa, tetapi juga dengan alam semesta yang mereka anggap sebagai sumber kehidupan dan berkah.




Rabu, 30 Juni 2021

Upacara Melaspas Di Pura Ratu Ayu Mas Bintang.

 Pada tanggal 24 juni 2021 bertepatan dengan Purnama Kasa, masyarakat Tejakula menggelar upacara Melaspas dari jam tujuh pagi sampai selesai. Kenapa menggelar upacara Melaspas? Karena pura ini baru selesai direnovasi pada tanggal 22 Juni 2021.






Sebelum direnovasi, bagaimana bentuk bangunan pura tersebut? Silahkan lihat gambarnya di bawah ini.


 Profil Singkat Pura Ratu Ayu Mas Bintang.

Secara geografis, pura Ratu Ayu Mas Bintang terletak di kawasan bukit Ujung-Ujungan atau bukit Mujung Tejakula dan berada di ketinggian 300 Meter dari permukaan laut.. Hari Piodalan di pura tersebut jatuh setiap purnama Sasih Kapat. Pura tersebut disungsung oleh desa Pakraman atau desa adat Tejakula. Selain itu, pura tersebut adalah tempat Mendak Tirta ketika ada Piodalan di pura Ratu Gede Sambangan desa Tejakula. Dahulu pura ini hanya berupa Pelinggih batu. Kemudian pada tahun 1976 barulah didirikan Pelinggih Gedong dan Piasan. Lalu pada tanggal 22 Juni 2021 direnovasi lagi.


Selasa, 12 Januari 2021

Tempat Melukat Di Kecamatan Tejakula.

Bagi teman-teman yang suka Melukat, ada kabar gembira buat anda. Di pura Segara yang berdekatan dengan pura Ponjok Batu ada Tirta Klebutan atau sumber mata air yang sangat bagus dijadikan tempat melakukan ritual Melukat. Tirta Klebutan tersebut terletak di pantai pura Ponjok Batu kecamatan Tejakula Buleleng. Tirta Klebutan tersebut dinamakan Campuhan Panca Tirta. Hari yang sangat bagus untuk Melukat disana adalah hari-hari keagamaan Hindu seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Buda Kliwon, Anggarkasih, Tumpek, dan lain sebagainya. Sarana apa saja yang dibawa jika ingin Melukat di tempat tersebut? Yang paling umum adalah Daksina Pejati dan Taksu serta Canang Raka. Ketika anda sampai di Jaba Mandala pura Ponjok Batu, beritahukanlah pada Jero Mangku yang sedang bertugas pada hari itu bahwa anda ingin Melukat. Nanti Jero Mangku tersebut akan menghantarkan anda ke Pelinggih Segara untuk menghaturkan Daksina Pejati yang anda bawa dari Rumah. Tapi sebelumnya, haturkanlah Banten Taksu yang berisi uang Taksu kepada Jero Mangku sebagai Punia. Sampai di Pelinggih Segara, Jero Mangku akan menghaturkan Daksina Pejati dan Canang Raka. Setelah selesai Nganteb, Jero Mangku akan mengajak anda melakukan Mantram Kramaning Sembah. Setelah itu barulah anda Melukat dengan cara mandi di air laut dan mandi di air tawar atau Tirta Klebutan. Ada tata cara saat Melukat di air laut maupun di air tawar yaitu tidak boleh telanjang, harus memakai pakaian adat sembahyang atau pakaian adat Madya, tidak boleh pakai sabun, dan tidak sedang dalam keadaan Cuntaka. Setelah selesai Melukat, Jero Mangku akan memercikkan Tirta pada anda. Diminum tiga kali, dan diusapkan ke rambut tiga kali. Banten yang anda haturkan di Pelinggih, hanya Canang Raka yang boleh dilungsur sebagai Prasadam atau makanan yang sudah mendapatkan anugerah dari tuhan.