Senin, 27 Mei 2019

Pura Pingit: Sejarah dan Keajaiban di Tejakula

Pura Pingit adalah salah satu pura bersejarah yang terletak di Dusun Sukadarma, Desa Tejakula, Bali. Keberadaannya tidak hanya menarik perhatian para pengunjung, tetapi juga menyimpan kisah yang kaya akan nilai spiritual dan budaya. Hari Piodalannya jatuh pada Raina Buda Kliwon Wuku Pahang, yang menjadi momen penting bagi umat Hindu di daerah tersebut.

Nama "Pingit" memiliki arti yang mendalam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu angker atau keramat. Hal ini mencerminkan aura sakral yang melekat pada pura ini, dan menambah daya tariknya sebagai tempat persembahyangan.

Legenda Sejarah Pura Pingit

Belakangan ini, semakin banyak informasi mengenai sejarah Pura Pingit yang mulai terungkap. Menurut cerita yang disampaikan oleh para tetua di Tejakula, puranya didirikan berdasarkan peristiwa luar biasa yang terjadi di masa lalu. Cerita dimulai ketika sekelompok anak kecil sedang bermain di suatu tempat. Mereka memainkan tarian tradisional Sanghyang, seperti Sanghyang Bangkung, Sanghyang Dedari, Sanghyang Jaran, dan Sanghyang Siwa, yang merupakan bagian dari budaya Bali yang kaya.

Saat anak-anak tersebut asyik dalam permainan, tiba-tiba terjadi sesuatu yang ajaib. Salah satu dari mereka mengalami keadaan yang tidak biasa—roh suci merasuki tubuhnya. Dalam keadaan trance, anak tersebut melangkah ke atas bara api yang menyala tanpa merasakan sakit sedikit pun. Kejadian ini menimbulkan keheranan dan kekaguman bagi semua yang menyaksikannya. Bahkan, setelah peristiwa tersebut, tidak ada tanda luka bakar yang ditinggalkan di tubuhnya.

Keajaiban ini menjadi titik awal bagi pendirian Pura Pingit. Masyarakat setempat percaya bahwa tempat tersebut dipenuhi dengan energi spiritual yang kuat, sehingga mereka memutuskan untuk membangun pura sebagai bentuk penghormatan dan syukur atas peristiwa luar biasa tersebut.

Hari Piodalan di Pura Pingit bukan sekadar ritual keagamaan; ini adalah saat bagi masyarakat untuk berkumpul dan merayakan warisan budaya mereka. Ritual-ritual yang dilakukan selama Piodalan mencerminkan nilai-nilai spiritual dan sosial yang mengikat komunitas setempat. Melalui doa, dan persembahan, umat Hindu berusaha menjalin hubungan yang lebih erat dengan Sang Pencipta dan menghormati roh-roh leluhur.

Perayaan ini juga menjadi ajang bagi generasi muda untuk belajar dan memahami tradisi mereka. Anak-anak diajarkan tentang makna tarian Sanghyang dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga warisan budaya dapat terus dilestarikan dari generasi ke generasi.

Pura Pingit bukan hanya sekadar tempat persembahyangan umum, namun merupakan simbol dari keajaiban, kepercayaan, dan kebudayaan yang mendalam. Cerita mengenai roh suci yang merasuki anak kecil dan keajaiban yang mengikuti, menjadikan pura ini sebuah tempat yang keramat. Setiap kunjungan ke Pura Pingit adalah kesempatan untuk merasakan kehadiran spiritual yang kuat dan merenungkan makna kehidupan yang lebih dalam. Dengan demikian, Pura Pingit tetap menjadi salah satu tempat yang penting dalam peta spiritual dan budaya Bali.






Nama Nama Piodalan Khas Tejakula.

Sebelum saya membahas nama-nama Piodalan khas Tejakula, ijinkan saya terlebih dahulu membahas struktur pemerintahan desa adat Tejakula. Di Tejakula ada istilah Desa Negak yang artinya struktur pemerintahan desa adat tejakula yang berjumlah 22 orang diantaranya Jero Bendesa, Jero Penyarikan, Jero Bahu, dan 19 Semeton Desa. Di luar Desa Negak ada juga istilah Kelian Sampingan Kaler yang jumlahnya 6 orang, dan  Kelian Sampingan Kelod yang jumlahnya 6 orang juga. 

Menurut penuturan para tetua di Tejakula, sebelum ada Kahyangan Tiga di desa Tejakula, Tejakula sudah memiliki Dang Kahyangan yang bernama pura Dangin Carik lalu disusul dengan pura Maksan. Makanya pura Dangin Carik adalah satu-satunya pura yang ikut menggelar upacara Dangsil dan Ngenemang. Mengenai nama nama Krama di Tejakula diantaranya Krama Pengastulan, Maksan Kaja, Umbul-Umbul Kaja dan Cendek. Setelah kedatangan Mpu Kuturan ke Bali atau setelah terciptanya konsep Kahyangan Tiga, barulah di Tejakula ada istilah Maksan Kelod, Umbul-Umbul Kelod dan Mamas.
            
Desa Tejakula memiliki Tarian adat yang bernama tari baris. Sementara tari Baris dapat dibagi menjadi beberapa bagian diantaranya tari Baris Jojor yang penarinya identik dengan pakaian warna kuning. Sedangkan tari Baris Blongsong identik dengan warna putih, tari Baris Bedil identik dengan warna hitam dilengkapi dengan tombak, dan tari Baris Perisi identik dengan warna hitam dilengkapi dengan Tamiang. 

Selain penari Baris, ada juga istilah Cendek yang dibagi menjadi dua jenis yaitu Cendek putih dan Cendek Luput.
             
Nah sekarang barulah saya akan membahas nama-nama Piodalan khas Tejakula. Mengenai Piodalan Khas desa Tejakula  diantaranya ada yang bernama Piodalan Dangsil, Ngenemang, dan Labuh Gentuh.
            
Piodalan Dangsil jatuh setiap purnama Sasih Kalima atau sekitar bulan November. Pura yang menggelar Piodalan Dangsil diantaranya :pura Puseh, Bale Agung, Dalem dan  Dangin Carik. Dalam kamus bahasa Kawi Dangsil merupakan persembahan yang terbuat dari berbagai jajanan tradisional seperti Jaje Pekayu, Jaje Gina, dan lain sebagainya. Kemudian dirangkai sedemikian rupa hingga menyerupai Meru atau gunung. Ritual Dangsil dilatarbelakangi oleh wujud bakti kepada tuhan agar diberikan ketentraman dan kemakmuran umatnya. Setiap Dangsil di desa Tejakula pasti menggelar tari Wayang Wong, tari Baris, tari Rejang dan lain-lain. Lalu ada istilah Meprani yaitu makan bersama sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada Sanghyang Widhi.          
                 
Selain Dangsil, di Tejakula juga ada istilah Piodalan Ngenemang. Ngenemang jatuh setiap purnama Sasih Ke enam menurut perhitungan kalender Bali atau bulan Desember. Pura yang menggelar Piodalan Ngenemang adalah Puseh, Bale Agung, pura Dalem, Dangin Carik dan Segara.     

Kemudian ada istilah Labuh Gentuh yang digelar setiap sepuluh tahun sekali di pura Beji Tejakula. Ada satu hal yang paling unik yang dimiliki oleh desa adat tejakula yaitu setiap selesai pembuatan candi di sebuah pura, maka pura tersebut wajib dibuatkan upacara Ngambeg. Yaitu ritual Caru kepala kerbau. Dan seperti biasa wajib menggelar tari Wayang Wong di pura yang baru saja selesai dibuatkan candi.