Saya selalu penasaran dengan hubungan sejarah antara desa Sukawana dan Tejakula. Namun, meskipun sering mendengar cerita-cerita lisan dari berbagai sumber, saya belum menemukan penjelasan yang benar-benar jelas. Hingga suatu hari, sebuah kejadian tak terduga memberikan saya kesempatan untuk menggali lebih dalam tentang hubungan antara kedua desa ini.
Saat itu, saya sedang bepergian dari Tejakula menuju Denpasar untuk mencari pekerjaan. Seperti biasa, saya mengendarai motor, menembus jalanan yang berliku di sepanjang jalur Lateng-Kintamani. Namun, tak lama setelah saya melewati desa Lateng, hujan turun dengan sangat lebat, membuat perjalanan saya semakin sulit. Badan saya pun basah kuyup, tubuh menggigil kedinginan, dan yang lebih sialnya, saya juga digonggong anjing oleh beberapa ekor yang tampaknya merasa terganggu oleh kehadiran saya.
Meski begitu, saya terus melanjutkan perjalanan. Di tengah hujan yang semakin deras, saya merasa tubuh saya semakin lelah dan kedinginan. Saat itu, saya tiba di Dusun Kuta Dalem, Desa Sukawana. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk mencari tempat berteduh agar bisa sejenak menghangatkan tubuh dan menghindari hujan yang semakin lebat.
Di sebuah teras rumah yang terlihat kuno dan sederhana, saya melihat beberapa orang sedang berteduh. Saya memberanikan diri untuk mendekati mereka dan meminta izin kepada tuan rumah untuk berteduh sebentar. Tuan rumah, yang ternyata bernama Wayan Runa, menyambut saya dengan ramah. Istrinya, Ibu Runa, juga terlihat menyambut kedatangan saya dengan senyuman hangat. Di samping kiri saya, ada seorang pria bernama Pak Made Kumpul, dan di sisi kanan saya, ada seorang pria dari Sukawana.
Obrolan kami dimulai dengan percakapan santai. Pak Made Kumpul bertanya asal saya, "Anda dari mana, pak?"
"Saya dari Tejakula, Pak," jawab saya.
Sejak itu, obrolan kami semakin seru. Kami membicarakan berbagai topik, mulai dari pekerjaan di Bali yang kini lebih banyak diambil oleh pendatang, hingga hal-hal yang berkaitan dengan tradisi dan ritual di Bali. Salah satunya, kami membahas tentang Canangsari—sesuatu yang sering dibuat oleh wanita Banyuwangi dan bagaimana keaslian bunga yang digunakan dalam persembahan ritual ini sering kali diragukan. Kami juga berbicara tentang telur Banten yang dijual oleh pedagang Jawa, dan apakah itu telur Sukla atau hasil dari pemungutan Lungsuran upacara Ngaben. Meskipun obrolan kami penuh dengan topik serius, kami selalu menambahkan humor untuk meringankan suasana.
Tak lama setelah itu, Ibu Runa datang dengan membawa secangkir kopi hangat yang diberikan kepada saya dan dua orang di samping saya. Saya terkejut, karena tampaknya di Sukawana, tradisi menjamu tamu dengan kopi hangat adalah hal yang sangat dihargai. Saya mengangguk dengan rasa terima kasih dan langsung meneguk kopi tersebut. Rasanya begitu nikmat, menenangkan tubuh saya yang masih kedinginan.
Setelah beberapa saat berbincang, pembicaraan pun beralih ke topik yang saya tunggu-tunggu—sejarah hubungan antara Sukawana dan Tejakula. Pak Made Kumpul menceritakan bahwa, menurut cerita leluhur, masyarakat Sukawana dan Tejakula memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan bisa dikatakan mereka adalah saudara. Dulu, sebagian masyarakat Sukawana melakukan urbanisasi ke Tejakula, yang berarti mereka pindah dan membentuk komunitas baru di desa itu. Oleh karena itu, setiap sepuluh tahun sekali, masyarakat Tejakula selalu mengadakan persembahyangan di Pura Bale Agung Sukawana. Persembahan yang dibawa biasanya berupa daging kijang.
Pak Made Kumpul juga menjelaskan bahwa Paduluan di Sukawana terbagi menjadi 45 Paduluan, dengan 23 Paduluan untuk masyarakat Sukawana dan 22 Paduluan untuk masyarakat Tejakula. Tak hanya itu, sumber air yang ada di Tejakula sebenarnya berasal dari Sukawana, dan mata air tersebut juga diupacarai oleh masyarakat Tejakula.
Setelah saya mendengarkan cerita yang sangat menarik ini, saya merasa semakin terhubung dengan kedua desa tersebut, dan rasa penasaran saya mulai terjawab. Saya merasa beruntung bisa mendengar langsung cerita-cerita sejarah dari orang-orang yang benar-benar memahami akar budaya dan hubungan antara kedua desa ini.
Akhirnya, setelah hujan reda dan obrolan kami selesai, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Denpasar. Sebelum pergi, saya mengucapkan terima kasih kepada Wayan Runa dan Ibu Runa atas keramahan mereka, serta kepada Pak Made Kumpul yang telah memberikan banyak informasi berharga. Saya pun meninggalkan Dusun Kuta Dalem dengan hati yang lebih hangat, bukan hanya karena kopi yang saya minum, tetapi juga karena cerita yang telah membuka wawasan saya tentang hubungan antara Sukawana dan Tejakula.
Sekian cerita singkat dari saya, semoga dapat menambah sedikit informasi tentang sejarah kedua desa yang penuh makna ini. Sebuah perjalanan yang tidak hanya mengajarkan saya tentang geografi Bali, tetapi juga tentang nilai-nilai persaudaraan yang tak lekang oleh waktu.